Rabu, 12 Januari 2011

Beras Oplosan......... REMMPPOONNGG DEH !



Pada akhir abad XX ini para petani kita sedih, mengeluh, dan menangis. Gabah mereka jatuh harganya karena gudang-gudang dipenuhi beras impor, pesanan tahun sebelumnya ketika kita kekurangan beras. Ini memang ironis! Pas mereka panen padi, beras impor baru datang!

Belum pulih dari keadaan runyam itu, kita sudah ribut lagi dengan beras oplosan, yang dimasukkan ke gudang Badan Urusan Logistik (Bulog). Kepalanya mengancam tidak akan membayar pemasok, selama beras oplosan tidak diganti dengan beras murni. Beras oplosan ialah beras yang enak dicampur dengan beras yang tidak enak. Campur-mencampur ini kelihatannya seperti dosa, tetapi ternyata tidak. Bahkan ada yang menguntungkan. Wah! Bagaimana duduknya perkara ini ///????

Asal-muasal beras tidak enak

Masyarakat mendambakan beras enak! Sebab dengan makan nasi enak, tidak perlu ada lauk pauk mewah. Cukup dengan ikan asin dan sambal terasi berikut lalapan, makan sudah nikmat! Itu kalau berasnya memang enak, tidak dicampur dengan beras kurang enak!

Nasi enak itu umumnya pulen, gurih, dan harum. Misalnya nasi dari beras pandanwangi asal Cianjur, dan rojolele dari Delanggu. Orang Jepang dan para penggemar masakan Jepang mencari beras yang mutlak harus pulen dan agak lengket, karena akan dimakan dengan sumpit. Kalau pera, tidak bisa dibayangkan bagaimana caranya menyumpit nasi yang berantakan.

Sebelum Perang Dunia II, ketika penduduk Pulau Jawa belum sebanyak sekarang, kita masih kecukupan beras enak. Padi lokal yang terkenal zaman itu ialah padi bulu. Selain batangnya memang berbulu, buahnya juga berduri sekecil jarum di ujungnya. Butiran berasnya gemuk membulat.

Sesudah perang usai (1950 – sekarang), kita kekurangan beras karena jumlah penduduk yang makan nasi meningkat pesat. Sialnya, padi bulu beras enak itu sedikit sekali hasilnya. Hanya 4 ton per ha, dan setahun hanya dapat dipanen dua kali. Dikhawatirkan tidak akan mencukupi kebutuhan beras bagi rakyat Pulau Jawa kalau yang ditanam padi bulu itu terus, pemerintah mencari bibit baru yang hasilnya bisa berlipat ganda sehingga dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang membeludak. Kalau tidak, penduduk Pulau Jawa akan kelaparan.

Pada tahun 1967, International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina, berhasil merakit varietas padi International Rice (IR) 8. Hasil silangan padi Jawa dan Taiwan ini luar biasa hasilnya (bisa sampai 8 ton per ha) hingga mampu menyelamatkan India dari bahaya kelaparan.

Kita juga memasukkan padi itu, yang meskipun banyak hasilnya tetapi sayang tidak enak! Untung ia rentan terhadap hama sampai harus disemprot racun serangga luar biasa agar tetap banyak hasilnya. Maka, kita kemudian tidak menanamnya lagi.

Keburukan ini sama sekali tidak diduga oleh para pakar padi di IRRI zaman itu. Kemudian mereka menciptakan varietas padi baru lagi yang selain tahan terhadap serangan hama, juga lebih enak.

Beras Cianjur

Sejak 1970 kita kemudian silih berganti menanam varietas padi baru. Ada yang hasilnya banyak, tapi rasanya kurang enak. Ada yang berasnya enak, namun tanamannya tidak tahan wereng. Ini serangga sebangsa kepik yang karena kecilnya (hanya 1,5 cm), sampai dikutuk sebagai “kutu” loncat. Baru pada 1986 ditemukan padi IR 64 yang tahan wereng, dan hasilnya banyak (6 – 7 ton per ha). Padi varietas unggul tahan wereng (VUTW) ini juga pulen dan lumayan enaknya. Sampai sekarang, IR 64 masih tetap populer di kalangan petani kita, karena umur tanaman lebih pendek daripada padi lokal. Dalam dua tahun bisa panen lima kali.

Namun, rasanya yang cuma “lumayan” itu membuat konsumen kurang suka. Mereka tetap mendambakan beras dari padi lokal yang terkenal enak seperti beras cianjur. Sebutan beras cianjur dipakai di mana-mana, dari Sabang sampai Merauke, untuk menunjukkan bahwa beras itu enak. Bahkan di Arab Saudi pun bisa ditemukan beras cianjur. Ketika sudah menjadi nasi pulen dan enak, sampai di zaman Belanda dulu diekspor ke Eropa, tetapi dengan nama Java rijst. “Beras Jawa” ini mereka sukai karena kalau ditanak, nasinya soepel, tidak keras seperti beras siyem yang padinya cere (bercerai-berai) dari Thailand, tetapi juga tidak lembek seperti beras Italia.

Karena padi bulu yang Jawa ini mudah diserang hama, ia makin terdesak oleh padi baru tahan hama yang disebarluaskan oleh pemerintah, seperti citarum (dilepas tahun 1978), cisadane (1980), cipunagara (1981).

Di antara padi bulu cianjur itu ada varietas lokal yang nasinya pera, tetapi baunya wangi seperti daun pandan, sampai padinya terkenal sebagai pandanwangi. Semula ia tidak terkenal karena tidak begitu disukai, gara-gara nasinya pera itu. Tetapi setelah ada pedagang beras yang mencampurnya dengan beras cianjur yang pulen, maka pandanwangi naik daun. Nasinya jadi pulen dan baunya wangi.

Di tengah-tengah beras cianjur dari padi bulu yang nasinya tidak berbau, kita kemudian mendapat beras cianjur yang wangi. Pada kemasannya dapat kita baca nama beras campuran itu yang kadang berlebihan, seperti Cianjur Padi Bulu, Spesial Pandanwangi. Atau Padi Bulu, Cianjur Kepala, Slijp, Pandanwangi, Istimewa.

Warisan nenek moyang

Para petani yang lahannya cocok untuk pandanwangi (terutama di Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur) tidak terlalu tergiur untuk beralih ke IR 64, cisadane, atau padi VUTW yang lain, tetapi berusaha tetap menanam pandanwangi. Padi ini semacam varietas warisan nenek moyang orang Cianjur.

“Tidak pernah dilepas secara nasional dengan SK Menteri seperti padi VUTW lainnya!” tutur Nana Sumarna P.K., kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur. “Memang pernah diupayakan agar mendapat sertifikat dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, tetapi ketika diuji ketahanannya terhadap wereng coklat, padi itu tidak lulus. Jadi, tidak bisa diberi sertifikat.” Walaupun daerah Cianjur cocok untuk bertanam pandanwangi, namun petani di sana tidak menggebu-gebu mengusahakannya. “Kebutuhan beras itu tidak terlalu banyak!” ungkap H. Hasbullah, ketua Kelompok Tani Dwipawangi, dari Jambudipa. Pernah terjadi, ketika 80% petani Kabupaten Cianjur menanam padi itu, harga beras pandanwangi anjlok.”

Karena itu, kemudian ada semacam pembatasan yang diberlakukan dengan kesepakatan bersama di kalangan petani, jangan sampai hasil jerih payah mereka dianjlokkan oleh pasar. Dalam satu musim tanam, hanya 50% petani dari lima kecamatan (Warungkondang, Cibeber, Cugenang, Cilaku, dan Cianjur) yang bertanam pandanwangi. Lainnya menanam beras cianjur yang tidak berbau wangi tapi pulen, IR 64, atau padi VUTW yang lain. Jadi, harga pandanwangi tetap stabil.

Agaknya, varietas unggul lokal ini hanya cocok untuk dataran sedang (menengah) dan dataran tinggi seperti Warungkondang. Pernah terbetik berita, ada seorang petani yang mencoba menanam pandanwangi di daerah lain. Tanamannya memang tumbuh dan berhasil dipanen padinya, tetapi rasa dan aromanya tidak sama dengan pandanwangi asli asal Cianjur. Belum ada penelitian yang bisa menjelaskan fenomena itu. H. Hasbullah menduga, biang keladi keharuman padi itu ialah jenis tanah dan air yang menghidupi padi di Warungkondang.

Pandanwangi yang ditanam di daerah asalnya begitu hebat, sampai setiap panen selalu ada deretan truk milik tengkulak asal Karawang dan Subang yang sudah antre sejak pagi untuk mengangkutnya ke Jakarta.

Aneka pemalsuan

Karena enak dan harum, beras pandanwangi sering dipalsukan. Pemalsuan tidak hanya terjadi di kalangan pedagang di kota besar, tetapi juga di Cianjur sendiri. Caranya dengan menyemprot beras varietas lain yang bentuknya mirip pandanwangi dengan esens pandan ketika beras digiling dalam pabrik. Pabrik yang melakukannya biasanya tertutup pintu pagarnya untuk umum. Apalagi wartawan!

Beras yang dihasilkan memang wangi, tetapi ketika dimasak wanginya hilang. Bahkan ada yang baru dicuci saja sudah hilang baunya.

Di Jawa Tengah juga ada pabrik beras yang membuat beras wangi, dengan menyemprotkan sari daun pandan ke beras yang sedang di-slijp. Berasnya dari varietas apa saja. Nama pandanwangi di sana tidak merujuk ke varietas padi, tetapi ke bau pandan yang tercium dari beras “apa saja” itu.

Pemalsuan dengan cara ini ternyata membuat konsumen beranggapan salah kaprah bahwa beras pandanwangi itu mesti wangi. Kalau mereka membeli beras, yang diuji pertama kali ialah apakah beras itu wangi atau tidak. Padahal beras pandanwangi yang tulen dari Cianjur justru tidak berbau wangi. Aroma baru muncul kalau beras sudah ditanak menjadi nasi yang kebul-kebul masih hangat.

Cara lain untuk memalsu pandanwangi ialah dengan mencampur beras yang murni dengan beras dari varietas lain yang sama bentuk butirannya, seperti cisadane, cilamaya muncul, cimandiri, mamberamo, atau dengan beras varietas lainnya. Perbandingan campurannya antara 1 : 4 dan 1 : 10.

Pemalsuan ini membawa hikmah. Pandanwangi justru makin dicari, dan di samping itu konsumen juga diuntungkan. Sebab pandanwangi oplosan lebih murah harganya, sehingga lebih banyak yang bisa ikut menikmati (sebagian) kehebatannya. Nasi pun jadi lebih pulen.

Beras rojolele dari Jawa Tengah juga dipalsu. Kartika Candra, seorang petani merangkap pedagang beras asal Delanggu, Klaten, mengakui beras rojolele asal Delanggu banyak yang dicampur dengan beras lokal Jawa Tengah yang bentuknya hampir sama. Bagian depan butiran beras runcing, dan bagian belakang membulat. Beras oplosan ini dijual sebagai rojolele, meskipun rojolele-rojolelean.

Di pasar induk beras Bekasi misalnya, sekarung beras rojolele 20 kg laris dijual dengan harga Rp 57.000,- (sekitar Rp 3.000,-/kg). Tetapi benar-tidaknya itu rojolele, tidak ada yang tahu pasti! Menurut Sugeng, ketua KUD (Koperasi Unit Desa) Tani Maju dari Juwiring, Klaten, yang mengetahui benar seluk-beluk perdagangan beras lokal, beras itu bukan rojolele, tetapi cilamaya muncul.

Masyarakat di luar Klaten dan Delanggu tidak begitu tahu perbedaan beras rojolele dan cilamaya muncul. Kedua jenis itu serupa, dan sama-sama enaknya.

“Beras campursari ini membuat rojolele yang murni turun harga, dari Rp 4.500/kg ke Rp 2.500/kg, karena disaingi di pasar,” tutur Sugeng


Harus dioplos

Campur-mencampur ini tidak ada yang melarang. Persis seperti suku cadang mobil. Ada yang asli, dan ada yang imitasi. Kalau orang membeli suku cadang, ia akan ditanyai mau yang asli atau bukan. Keduanya sah diperjualbelikan.

Membeli beras rojolele juga begitu. Hanya saja, pedagang beras tidak mau bertanya seperti pedagang suku cadang mobil. Kalau pembeli tidak menjelaskan, ia akan diberi rojolele-rojolelean. “Baru kalau ia jelas menyatakan mau yang asli, ia diberi rojolele yang asli juga!” jelas Kartika Candra.

Asli yang dimaksud tidak berarti asli 100%. Sebab, beras rojolele tidak ada yang dijual betul-betul murni. Selalu sudah dicampur dengan beras lain. Kalau campurannya sedikit (misalnya 3 : 1), beras yang terbentuk dijual sebagai rojolele asli. Bukan murni. Kalau campurannya banyak (misalnya 4 : 1), beras campursarinya dijual sebagai rojolele (tok), tanpa embel-embel asli. Baik yang asli maupun yang bukan, keduanya diberi label rojolele.

Mengapa selalu dicampur? Karena kalau tidak, beras rojolele justru kurang laku. Harganya di tingkat pengecer bisa sampai Rp 6.000,-/kg. Mana ada konsumen di daerah beras melimpah mau membeli beras Rp 6.000,-? Beras jenis lain yang sama-sama enak dan pulennya (tidak usah wangi) saja lebih murah.

Karena itu, beras rojolele harus dicampur dengan beras lain yang lebih murah, supaya ia juga murah jatuhnya. Campurannya beras yang bisa diproduksi massal, dan bisa ditanam di mana saja di luar daerah penghasil rojolele.

Rasa rojolele-rojolelean ini masih enak juga! Seorang rekan yang membeli oplosan rojolele dengan beras mutiara asal Tawangmangu, Jawa Tengah, masih merasakan kehebatannya. “Pulen dan wangi, perut tak kunjung kenyang, kendati sudah dua kali tambah nasi!” katanya. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya, jika beras yang dimasak itu rojolele murni!


Di luar standar

Mengapa campur-mencampur beras tidak ditangkap polisi? Kita belum mempunyai standar mutu beras yang ditetapkan dengan undang-undang. Seandainya sudah ada, polisi bisa bertindak sesuai undang-undang itu.

Dewasa ini, mutu beras masih berdasarkan standar mutu Bulog. Bukan untuk perdagangan khalayak ramai, tetapi untuk penyimpanan dalam gudang Bulog sendiri.

Penentu mutunya ialah derajat sosoh (hasil beras yang bersih, sesudah ditampi). Makin bersih suatu beras, sampai mencapai 100%, makin bermutu karena makin tahan disimpan lama.

“Standar Bulog ini sama sekali tidak memperhatikan varietas padi!” tutur Dr. Ir. Agus Setyono MS, dari Balai Penelitian Padi, Sukamandi. “Akibatnya, dalam perdagangan beras dengan Bulog, varietas padi macam apa saja dihargai sama. Idealnya tidak begitu! Beras seharusnya diperhatikan varietas padinya, dan dicantumkan dalam kemasan beras yang diperdagangkan!” lanjut Agus ketus.

Menurut dia, dalam pertemuan antara Departemen Pertanian dan Bulog mengenai standar mutu beras, disepakati bahwa mutu beras terbagi atas tiga kelas. Beras kelas satu, misalnya, ialah beras yang memenuhi derajat sosoh 100% (bersih sekali), dan tersusun oleh beras kepala (yang butirannya utuh) 95%, beras pecah 3%, dan menir (beras padi muda) 1%. Tetapi harus disebutkan pula varietas padinya, seperti misalnya Bengawan Solo, Cilamaya Muncul, IR 64, atau lainnya.

Di luar kelas yang dibakukan ini, terserah tidak mencantumkan varietas padi boleh-boleh saja, termasuk beras oplosan yang tidak diketahui juntrungannya. Beras yang tidak dicantumkan varietasnya, jelas kurang laku dibanding dengan beras yang jelas-jelas dicantumkan varietasnya.

Kalau keharusan mencantumkan varietas padi ini disetujui DPR untuk dijadikan undang-undang, orang tidak akan bisa memalsu beras lagi, karena ada keharusan mencantumkan varietas padi yang dikemasnya. Kalau ketahuan tidak cocok antara isi dan spesifikasi pada kamasan, polisi bisa bertindak. Mudah-mudahan kita bisa mempunyai undang-undang tentang standar mutu beras semacam itu berikut sanksinya dalam waktu yang tidak usah terlalu lama.


Salah kaprah

Pedagang beras yang bonafid pasti dengan senang hati mau mencantumkan varietas padi pada kemasan yang dijualnya. Pembeli pelanggannya juga bisa tahu pasti kepulenan beras yang dibelinya. Sebab, setiap varietas padi yang dilepas pemerintah sudah diuji lebih dulu kepulenannya di Balai Penelitian Tanaman Padi, apakah ia pera (kadar amilosanya lebih dari 26%), pulen (amilosanya 18 – 26%), atau sangat pulen (15 – 18%).

Pandanwangi yang asli mempunyai kadar amilosa sekitar 26%. Jadi, sebetulnya ia sudah termasuk beras pera walaupun di perbatasan. Karena dicampur dengan beras IR 64, beras pandanwangi jadi pulen, sampai disukai orang Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar Jawa Barat lainnya.

Varietas padi yang sudah teruji kepulenannya antara lain bengawan solo, cilamaya muncul, cilosari, cirata, cisadane, IR 64, IR 74, dan mamberamo (ini malah pulen sekali). Varietas yang pera ialah antara lain batang anai, cenrane, lematang, sei lilin, kelara, cisokan, IR 68.

Ada kesalahkaprahan yang kita lakukan kalau membeli beras. Paling dulu kita selalu melihat penampilan fisik butiran beras. Kalau putih, mengkilat, dan banyak yang utuh (beras kepala), maka beras itu dipilih untuk dibeli.

“Lha, ini kelirunya!” tutur Dr. Agus. “Kita lupa bahwa kita ingin beras yang pulen! Padahal kepulenan tidak ditentukan oleh putih mengkilatnya butiran dan banyaknya beras kepala, tetapi kadar amilosanya. Dan ini tergantung varietasnya.”

Dari tahun 1970 – 1995 sudah ada 105 varietas padi yang dilepas oleh Balai Penelitian Padi ke masyarakat petani. Dari sekian banyak itu, yang masih ditanam sampai saat ini hanya beberapa, antara lain dodokan, cilamaya muncul, cirata, cisadane, limboto, mamberamo, dan way opu buru.

Varietas yang dilepas dikembangkan oleh perusahaan pembibitan padi Sang Hyang Sri dan P.T. Pertani. Kedua perusahaan ini memperbanyak benih, tetapi sebelum dijual ke petani, benih diuji dulu di Balai Pengujian dan Sertifikasi Benih, untuk diberi sertifikat.


Beras baru dan stok lama

Dengan pengaturan benih bersertifikat, penanaman yang baik dan benar, serta penanganan hasil sesuai petunjuk yang berwajib, beras yang dihasilkan para petani sebenarnya sudah oke. Hanya oknum pedagang yang ingin mengeruk keuntungan besar yang mengacaukan penyampaian beras bermutu dan enak ke masyarakat.

Enak tidaknya nasi dari beras asal padi yang bermutu, juga bergantung pada baru atau lamanya umur beras ketika akan disantap. Beras yang baru terasa enak, dan beras yang lama tidak. Dulu kita masih bisa menikmati enaknya beras baru, yang baru saja ditumbuk. Tetapi sekarang sudah tidak mungkin, karena beras yang “dilempar” ke pasar selalu beras giling stok lama.

Beras giling yang baru selalu disimpan sebagai “stok besi” dalam gudang dulu, dan baru dilempar kalau sudah ada pasokan baru dari panen berikutnya (atau dari impor yang terlambat). Itulah sebabnya, kalau kita makan nasi di pedesaan selalu lebih enak daripada nasi di kota. Meskipun sama-sama beras Cianjur, misalnya.

Petani dulu menyimpan padi dalam lumbung. Menyimpannya dalam bentuk gedengan (ikatan batang padi berikut malainya) seberat 4 – 6 kg. Ini bisa dilakukan karena padi yang ditanam dulu varietas yang buahnya menempel ulet pada malainya, tidak mudah rontok seperti padi VUTW zaman sekarang.

Sayang, padi gedengan hanya tahan disimpan selama lima bulan, sampai panen berikutnya. Selama itu, petani akan menumbuk padinya sebagian-sebagian sesuai kebutuhan keluarga dan kerabatnya saja. Jadi, yang dimakan selalu beras baru.

Penumbukan padi dalam lesung dengan alu kayu diserahkan kepada buruh tani yang memperoleh upah berupa beras hasil tumbukannya. Jumlahnya bervariasi, sesuai perjanjian bersama sebelumnya. Dari para buruh tani inilah, kitorang di kota bisa membeli beras tumbuk yang nasinya lebih enak daripada beras giling dari pabrik yang stok lama.

Namun, cara menumbuk padi dalam lesung itu tidak efisien. Beras yang dihasilkan juga hanya tahan disimpan sampai dua minggu. Sesudah itu, kalau tidak ditanak, beras tumbuk berbau apek diserang cendawan.

Sebaliknya, beras giling dengan derajat sosoh 100% dan dikemas dalam karung goni bisa tahan 8 – 12 bulan dalam gudang yang baik seperti milik Bulog. Cukup lama untuk menunggu pasokan baru. Karena itu petani sekarang lebih banyak yang menggilingkan padinya, daripada menumbuk. Apalagi kalau yang ditanam itu padi VUTW yang mudah rontok.


Slijp kepala

Padi VUTW hasil panen langsung dirontokkan dengan mesin perontok yang portable digotong-gotong ke tengah sawah. Gabah yang dihasilkan kemudian digiling dengan mesin yang konstruksi dan kapasitasnya beraneka ragam. Biasanya KUD menyewakan mesin giling semacam itu kepada para petani anggotanya.

Agar dapat digiling, gabah harus dijemur dulu sampai benar-benar kering giling. Mengeringkan gabah ini gampang-gampang susah. Tidak boleh terlalu cepat kering! Kalau terlalu cepat (sampai 2% per jam misalnya), beras yang dikupas sekamnya akan terlihat retak-retak. Kalau digiling, ya pecah. Padahal beras pecah menurunkan mutu. Waktu pengeringan yang baik ialah 6 – 8 jam pada pagi hari.

Dengan ditampi dan diayak, beras yang sudah digiling dan lepas sekamnya kemudian dipisahkan dari yang belum. Lalu dalam bagian mesin berikutnya, beras di-slijp (diampelas) agar bersih dari kulit arinya. Hasilnya berupa beras yang putih bersih, mengkilat bagus, tidak mangkak seperti beras tumbuk lagi. Nilai gizinya turun, karena vitamin A, B1, B2 yang semula terkandung dalam kulit ari kini sudah terbuang. Tetapi, keawetannya untuk disimpan meningkat.

Beras masih harus dipoles dalam mesin poles untuk dibuang pecahan-pecahan yang menempel pada butiran utuh. Butiran utuh inilah yang menentukan bermutu tidaknya beras. Makin banyak (sampai 95%) makin bermutu sebagai beras kelas satu. Tentu lebih mahal daripada yang tercampur dengan beras pecah yang terlalu banyak (sampai lebih dari 3%). Sama-sama beras Cianjur-nya, misalnya, yang satu disebut beras “Slijp Cianjur Kepala”, dan yang lain cuma disebut beras “Slijp Cianjur” tok. (Slamet Soeseno/I Gede Agung Yudana/G. Sujayanto)

dari : indomedia.com/intisari/2000/me
http://anekaplanta.wordpress.com/2008/03/01/heboh-beras-oplosan/

1 komentar:

  1. MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA PANEN TIBA
    Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia, NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) , dengan produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an.
    Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
    Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
    System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) sejak tahun 2005 adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik. Tetapi sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.
    Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.
    Kami tawarkan solusi yang lebih praktis dan sangat mungkin dapat diterima oleh masyarakat petani kita, yaitu:
    BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB LENGKAP AVRON / SO” + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS ( EM16+ ).
    Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.
    Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
    AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI!!!! SIAPA YANG AKAN MEMULAI? KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI? KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
    CATATAN: Bagi Anda yang bukan petani, tetapi berkeinginan memakmurkan/mensejahterakan petani sekaligus ikut mengurangi tingkat pengangguran dan urbanisasi masyarakat pedesaan, dapat melakukan uji coba secara mandiri system pertanian organik ini pada lahan kecil terbatas di lokasi komunitas petani sebagai contoh bagi masyarakat petani dengan tujuan bukan untuk Anda menjadi petani, melainkan untuk meraih tujuan yang lebih besar lagi, yaitu menjadi agen sosial penyebaran informasi pengembangan system pertanian organik diseluruh wilayah Indonesia.
    Semoga Indonesia sehat canangan Kementerian Kesehatan dapat segera tercapai.
    Terimakasih,
    Omyosa -- Jakarta Selatan
    02137878827; 081310104072

    BalasHapus