Jumat, 12 Oktober 2012

Masih Berani Coba Transgenik ??////

Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik baru saja meloloskan jagung transgenik RR NK 603 dan Bt Mon 89034 sebagai produk yang aman pakan. Sebelumnya, Februari 2011, Badan Pengawas Obat dan Makanan bahkan sudah menyatakan kedua produk di atas aman pangan.
Di tengah ingar-bingar situasi politik Indonesia, kedua proses itu jauh dari pengamatan publik. Kontroversi transgenik selalu terjadi antara yang mengatakan aman dan tidak aman, baik untuk kesehatan ternak dan manusia maupun terhadap lingkungan.
Lolosnya jagung transgenik untuk pakan bahkan pangan menjadi ironi ketika Profesor Gilles-Eric Seralini dari Universitas Caen, Perancis, memublikasikan hasil penelitiannya. Dalam penelitian pertama terhadap dampak jangka panjang pestisida Roundup dan jagung transgenik RR NK 603, ternyata berkembang tumor payudara pada mencit-mencit percobaan betina serta kerusakan pada ginjal dan hati pada mencit-mencit jantan.

Pada percobaan tersebut, mencit-mencit diberi pakan jagung transgenik dan pada minumannya dilarutkan pestisida Roundup pada level yang diizinkan untuk air minum. Lima belas tahun lalu Dr Mae Wan Ho, ahli genetika yang kritis terhadap perkembangan rekayasa genetika, sudah mengingatkan dampak ini dalam tulisannya, ”The Unholy Alliance” (The Ecologist, 1997). ”Masyarakat dunia tidak siap sama sekali menghadapi dunia rekayasa genetik yang dikuasai oleh perusahaan multinasional raksasa nirwajah.
Mereka akan mengontrol seluruh aspek kehidupan mulai dari makanan sampai bayi yang akan dilahirkan,” ungkapnya. Mae Wan juga mengingatkan bahwa yang membuat teknologi transgenik ini berbahaya adalah aliansi dua kekuatan raksasa, yakni ilmu dan bisnis.
Aliansi ini bisa terjadi karena pengembangan rekayasa genetika selalu terkait dengan industri, yang langsung maupun tidak, akan membatasi integritas dan independensi para ilmuwan. Lebih gawat lagi kalau aliansi didukung kebijakan pemerintah korup yang ingin melanggengkan kekuasaan.
Kekhawatiran Mae Wan terbukti, kampanye agresif dari korporasi multinasional pemilik benih transgenik membuat luasan tanaman transgenik dunia semakin (diklaim) luas, demikian juga produk yang dihasilkan dan dipasarkan. Masyarakat dunia seperti dipaksa, seolah tidak ada pilihan selain transgenik.
Dua prinsip

Ada dua prinsip yang terus dilupakan dalam komersialisasi produk transgenik. Kedua prinsip itu diadopsi di Rio de Janeiro pada KTT Bumi tahun 1992, yakni Prinsip Kehati-hatian dan Partisipasi Publik. Keduanya menjadi semangat aturan internasional tentang keamanan hayati produk transgenik yang dikenal sebagai Protokol Cartagena. Bunyi dari prinsip 15 Rio itu adalah, ”Dalam upaya melindungi lingkungan pendekatan kehati-hatian dapat diterapkan secara luas oleh negara sesuai dengan kapasitasnya.
Ketika terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, ketidakcukupan kepastian ilmiah tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda tindakan pencegahan perusakan lingkungan”. Prinsip ini memosisikan kedaulatan ada pada negara untuk mengatakan menerima atau menolak produk transgenik. Dengan potensi risiko yang harus ditanggung oleh masyarakat dan lingkungan, keputusan yang paling murni adalah melibatkan masyarakat secara penuh, mulai dari perencanaan sampai pengawasan.
Partisipasi publik adalah prinsip yang tidak bisa ditawar dalam komersialisasi produk rekayasa genetika. September ini Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG) menyatakan jagung RR dan Bt lolos kajian keamanan pakan. Komisi memutuskan aman pakan setelah tim teknis melakukan pengkajian dokumen yang disertakan oleh perusahaan.
Dengan demikian, produk tersebut tinggal menunggu uji keamanan lingkungan sebelum dipasarkan ke petani seluruh Indonesia. Keberatan atas lolosnya jagung transgenik RR dan Bt adalah proses pengkajian yang hanya berdasarkan dokumen dari pengusul. Keputusan ini sangat dangkal, melanggar prinsip kehati-hatian, dan tidak ada ruang partisipasi publik. Secara logika sederhana, sangatlah aneh menerima dan memercayai begitu saja suatu dokumen dari pihak yang berkepentingan. Bias distorsi dan korupsi informasi menjadi sangat mungkin.
Namun, yang paling memprihatinkan adalah tak adanya partisipasi publik. Keputusan KKH PRG, yang disampaikan melalui situs di internet, seolah-olah sudah memenuhi syarat partisipasi (token participation), padahal luput dari perhatian publik.

Tidak aman

Publikasi hasil uji Profesor Seralini yang sudah diterbitkan jurnal Food and Chemical Toxicology 2012, mengingatkan kita semua untuk menaati kembali prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik. Penelitian yang berlangsung sepanjang daur hidup mencit tersebut menunjukkan bahwa 50 persen mencit jantan dan 70 persen betina mati lebih cepat dibandingkan kontrol. Seperti disebutkan sebelumnya, 50-80 persen mencit betina menderita tumor payudara, bahkan mencapai tiga tumor per ekor.
Penelitian ini sebenarnya merupakan lanjutan dari hasil kajian Seralini dan kawan-kawan tahun 2009 terhadap laporan Monsanto yang digunakan sebagai rujukan kajian aman pakan dan pangan. Seralini mendapatkan dokumen Monsanto lewat gugatan di pengadilan.
Hasil kajian terhadap dokumen Monsanto menunjukkan, mencit yang selama 90 hari diberi pakan jagung RR berdampak terhadap ginjal dan hati, jantung, kelenjar adrenalin, serta sistem aliran darah. Sebelum dibuka oleh Seralini, data dan fakta ini selalu disembunyikan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan KKH PRG dengan merekomendasikan aman pakan pada kedua produk transgenik di atas merupakan pelanggaran serius. Prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan dalam pengujian keamanan pakan, pangan, dan lingkungan telah diabaikan.

Saatnya kita berdaulat

Pengalaman pahit dari lolosnya uji keamanan pakan dan pangan jagung transgenik RR dan Bt ini harus menjadi pembelajaran kita semua. Kita tidak boleh lengah dan percaya begitu saja kepada perusahaan pengusul. Sebagai perusahaan, niatnya pasti dilandasi upaya segera mendapatkan untung besar.
Pemerintah Indonesia harus kembali menerapkan prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik murni. Ini yang terjemahan operasionalnya adalah pencegahan dan antisipasi.
Pencegahan terdiri dari sistem pengujian dan pengelolaan risiko yang mencakup pemberitahuan terdahulu, prosedur pemberian izin, pelabelan dan kelembagaan yang independen. Sementara antisipasi berupa pengembangan sistem tanggap darurat, penerapan tanggung jawab mutlak dan pembuktian terbalik serta penerapan sanksi administrasi, perdata dan pidana.
Semua ini harus melibatkan masyarakat dalam membangun kedaulatan pangan kita. Saat penataan perangkat tersebut sedang dalam proses, maka kita harus berani mengatakan penghentian sementara proses perizinan dan pelepasan produk transgenik ke lingkungan. Demi masyarakat dan lingkungan kita.

Tejo Wahyu Jatmiko Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera Fokus di Pangan, Pedesaan, dan ”Biosafety”
 sumber : http://health.kompas.com/read/2012/10/02/02215376/Kontroversi.Transgenik


Selengkapnya...